Hari Pers Nasional


Sejarah Pers di Indonesia dan Hari Pers Nasional

Sejarah pers di Indonesia bermula dari produk cetak kayak koran. Belanda yang membawa itu ke Batavia, karena Eropa emang udah ramai sama surat kabar.

Pada tahun 1743, Gustaaf Willem Baron van Imhoff diangkat jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Gustaaf kemudian ngizinin penerbitan surat kabar untuk pertama kalinya di Batavia, yaitu Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen, atau Berita dan Penalaran Politik Batavia (1744).

Hari Pers Nasional, Napak Tilas Sejarah Pers di Indonesia 68

Gustaaf Willem Baron van Imhoff. (Dok. Rijksmuseum via Creative Commons)

Awalnya, Belanda menganggap kalau pers cuma ladang cuan yang menyampaikan kabar tentang pemerintah. Makin lama, Belanda ngerasa kalau masyarakat makin butuh informasi, dan pers bisa jadi sarana untuk menyuarakan kabar pemerintah atau kelompok tertentu. Apalagi, orang Belanda menganggap kalau dokumentasi adalah segalanya.

Jadinya, “lalu lintas” pers makin ramai sekitar tahun 1900-an. Banyak surat kabar dan majalah baru yang bermunculan. Mereka ngabarin berbagai peristiwa penting di Hindia Belanda.

Hingga akhirnya, terbitlah surat kabar pertama milik orang Indonesia, Tirto Adhi Soerjo, bernama Medan Prijaji (1910). Kehadiran Medan Prijaji jadi awal mula pers menyuarakan kebebasan berpendapat.

Medan Prijaji jadi sarana aspirasi masyarakat dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan, para tokoh pergerakan Indonesia pun ikut penerbitan surat kabar, seperti Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, sampai Bapak Bangsa kita, Sukarno.

Hari Pers Nasional, Napak Tilas Sejarah Pers di Indonesia 69Halaman depan Medan Prijaji edisi 2 April 1910. (Dok. Tirto Adhi Soerjo via Wikimedia Commons)

Munculnya banyak surat kabar milik orang Indonesia bikin semangat para penulis berita. Pada tahun 1924, duo serangkai Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara bikin wadah persatuan pers nasional bernama Indische Journalisten Bond. Asosiasi ini jadi perkumpulan wartawan pertama di Indonesia.

Kemudian, Mohammad Yamin, W.R. Supratman, cs bikin Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI) pada tahun 1933 di Solo. Visi PERDI yaitu jadi wadah pikiran masyarakat yang mendorong perjuangan dan persatuan bangsa, tanpa harus takut dikekang penjajah.

Lahirnya Hari Pers Nasional

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kondisi pers Indonesia jadi melesat. Sebelumnya, masyarakat malas baca koran yang isinya itu-itu aja dan cuma ngabarin kepentingan kolonial Belanda dan Jepang. Setelah kemerdekaan, koran jadi rebutan masyarakat. Mereka nggak mau ketinggalan kabar terbaru tentang Indonesia yang baru aja merdeka.

Pulau-pulau besar di Indonesia mulai punya surat kabar sendiri, kayak Jawa Shinbun, Boernoe ShinbunSumatra Shinbun, sampai Sulawesi Shinbun. Penerbit media massa makin bermunculan, dan para pencari berita makin banyak beredar di lapangan.

Para wartawan jadi kepikiran, “Gimana ya caranya buat mempersatukan kita semua se-Tanah Air?” So, para wartawan dari seluruh Indonesia berinisiatif buat ngumpul di Solo. Mereka ketemu di balai pertemuan Sono Suko (sekarang Gedung Monumen Pers) pada 9-10 Februari 1946. Yang datang nggak hanya wartawan, tetapi juga para pemimpin surat kabar dan majalah.

Hari Pers Nasional, Napak Tilas Sejarah Pers di Indonesia 70Gedung Monumen Pers di Solo, yang dulunya adalah balai Sono Suko, tempat disepakatinya Hari Pers Nasional. (Dok. Crisco 1492 via Creative Commons)

Di sana, mereka ngobrolin semangat revolusi dan langkah tegas buat move on dari Belanda. Mereka juga membahas solusi dari segala kesulitan di dunia pers, dan mempersatukan kekuatan sebagai penyedia informasi. Para wartawan ingin punya satu wadah dengan satu tujuan: ngilangin sisa-sisa penjajah, negasin kedaulatan rakyat.

Akhirnya, pertemuan itu menyepakati dibentuknya organisasi wartawan Indonesia bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Semua sepakat menjadikan Mr. Sumanang Surjowinoto sebagai ketua PWI. Empat bulan kemudian, 8 Juni 1946, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) berdiri menyusul PWI sebagai organisasi penerbit pers di Indonesia.

“Terus, Hari Pers Nasional kok bisa sama kayak hari jadi PWI?”

Jadi, sampai era kepemimpinan Suharto, para wartawan generasi ‘45 masih terus aktif buat mengorbankan semangat kebangsaan melalui tulisan mereka. Suharto sadar akan peran pers Indonesia dan sejarah perjuangannya sejak kolonial Belanda. So, pada tanggal 23 Januari 1985, Suharto mutusin buat menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985.

Kebebasan Pers Antar Kepemimpinan

Meskipun pers di Indonesia udah diakui melalui Hari Pers Nasional, kebebasan pers di Indonesia mengalami ups and downs dari Orde Lama sampai Reformasi.

So, kebebasan pers adalah hak buat berbicara, menyiarkan, atau menerbitkan tanpa pengekangan dan penyalahgunaan tanggung jawab yang dimiliki. Dalam konteks sosial, pers punya hak buat dapat akses informasi dan nemuin kebenaran, dan memastikan warga negara bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Terus, gimana realisasinya di Indonesia?

Sebenarnya, Presiden Sukarno sudah menjamin kebebasan berpendapat, termasuk buat pers, dalam Pasal 28 F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Menteri Penerangan  saat itu, Amir Sjarifuddin, juga bilang kalau pers harus merdeka dan nggak boleh hanya menyampaikan pikiran penguasa, tetapi juga masyarakat. Pikiran masyarakat dianggap sebagai “nyawa” pemerintah.

Hari Pers Nasional, Napak Tilas Sejarah Pers di Indonesia 71Foto resmi Presiden Sukarno. (Dok. Wikimedia Commons)

Namun, pada 28 Oktober 1956, Sukarno mengubah sistem pemerintahan dari sistem demokrasi liberal jadi demokrasi terpimpin (elo bisa baca alasannya di sini). Sukarno minta pers buat mengikuti aturan sesuai prinsip Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Kalau ada yang melanggar, surat kabar itu bakal dibredel.

Sejak saat itu, pers diatur ketat sama pemerintah. Pers yang awalnya kritis, mau nggak mau jadi corong suara pemerintah. Momen terburuk pers Indonesia terus berlanjut sampai era Orde Baru.

Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di pemerintahan bikin pers speak up dan mengkritik pemerintah. Rezim Suharto membredel 12 media cetak, bahkan mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) beberapa media massa, seperti Tempo, Detik, dan Editor di awal 1990-an.

Saat itu, PWI nggak bisa jadi wadah organisasi pers karena berada di bawah pengawasan pemerintah, khususnya Departemen Penerangan. Pemerintah datang ke tempat media cetak buat ngasih tahu apa yang boleh dan nggak boleh ditulis. Penerbitan juga harus ada SIUPP-nya.

Setelah Orde Baru berakhir pada tahun 1998, rakyat ingin adanya reformasi di berbagai bidang, begitu juga dengan pers. Pers mulai bangkit lagi dan kembali kritis dalam masa Reformasi.

Era Reformasi bikin pers jadi leluasa buat memfasilitasi opini publik dan menyebarkan informasi. Fenomena ini ditandai dengan munculnya berbagai media cetak dan elektronik baru, dari koran, majalah, sampai televisi swasta.

Selain itu, Reformasi juga melahirkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini menegaskan kalau kemerdekaan pers dalam menyatakan pikiran dan pendapat adalah unsur penting dalam menciptakan masyarakat yang demokratis. Dalam Pasal 4 ayat 1, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Nggak akan ada lagi sensor, pembredelan, atau larangan siaran, yang ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 2.

 


Share this Post